Padang Sugihan, Rumah Terakhir Gajah Sumatra di Bumi Sriwijaya

Wednesday, January 18, 2023


Sebuah perjalanan tanpa rencana selalu bikin saya excited. Berawal dari sebuah obrolan tak sengaja dengan seorang kawan yang ingin melakukan penelitian dan membuat film dokumenter tentang kehidupan gajah di habitatnya, saya dengan sangat antusias menyambut ajakannya. Gak pake ba-bi-bu dan banyak tanya, pokoknya hayuuuk wae. Kapan lagi ya kan?

Palembang. Sebut Saja Ini Gerbang Sebelum Memulai Petualangan

Hari masih gelap ketika saya dan Angga menjejak tanah Wong Kito. Nyawa pun belum sepenuhnya terkumpul. Sejenak saya meluruskan kaki di trotoar sambil menggeliat untuk memulihkan otot-otot tubuh yang lumayan kaku setelah menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 35 jam dari Surabaya ke Palembang.

Kali ini kami memang sengaja memilih jalur darat agar feel and sense of adventure-nya benar-benar terasa. Berangkat dari Surabaya menuju Jakarta naik kereta api kelas ekonomi. Kereta api-nya pake acara ngadat pula di Semarang. Lumayan lama, sekitar 4 jam kereta kami berhenti di Stasiun Semarang dalam keadaan gelap karena kerusakan genset. Total perjalanan naik kereta api jadi 14 jam. Lumayan, karena kerusakan ini, tiket kereta api kami dikorting 50%. Uangnya bisa diambil di stasiun tujuan. Kejadian kereta ngadat ini seolah menjadi menu pembuka petualangan dalam perjalanan kami kali ini.

Perjalanan kami lanjutkan dengan naik bus SAN dari Terminal Bantar Gebang menuju Palembang. Total perjalanan naik bus sekitar 20 jam. Sampai di Palembang, hari masih gelap. Baru jam setengah 4 subuh. Cukup lama kami berdua duduk bengong di pinggir jalan yang sepi itu. Orderan ojek online, pun taxi online berkali-kali ditolak. Belakangan baru saya tau, ternyata orderan kami ditolak oleh para driver itu karena alasan keamanan. Katanya, daerah tempat kami memesan kendaraan itu termasuk salah satu daerah rawan di Palembang. Apalagi kami memesan ojek di pagi buta. Makin ogah lah para abang ojek menerima orderan kami.

Mentari pagi sudah mulai menunjukkan bias rona merahnya di langit, taksi online pun telah membawa kami menyusuri jalanan kota Palembang yang masih belum ramai. Tujuan kami kali ini adalah nyamperin teman-teman yang ngumpul di markas para pecinta alam di salah satu universitas di Palembang.

Karena lokasi kampusnya tak jauh dari rumah Yayan, jadi saya coba untuk menghubunginya. Alhamdulillah, disambut baik. Yayan ngajak ketemuan sambil sarapan di salah satu kedai pempek tak jauh dari situ. Rejeki pantang ditolak. Apalagi rejeki di pagi hari. Hahaha.. Makasih yo, Yan..


Dua Jam Menyusuri Sungai Musi Hingga Ke Pedalamannya

Perut dan selera sudah terpuaskan oleh sedapnya pempek. Semua personil tim pun sudah siap dengan segala perlengkapannya. Selagi masih pagi kami harus segera berangkat menuju destinasi yang sebenarnya. Saya pun sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan para gajah. Tanpa perlu berlama-lama segera kami menuju dermaga Jembatan Ampera.

Sampai di bawah kolong Jembatan Ampera yang berdiri megah sebagai ikon kota Pelembang. Mata saya disuguhi pemandangan aktivitas masyarakat sungai yang khas. Warna-warni perahu speed boat, kegiatan loading penumpang dan barang naik turun perahu, hingga riuhnya suara awak perahu yang mencari penumpang. Sebuah pemandangan human interest yang sangat menarik untuk diabadikan lewat lensa kamera.

Tak menunggu lama, akhirnya rombongan kami pun sudah berada di atas speedboat yang kami sewa untuk mengantar kami ke tujuan. Begitu mesin perahu dihidupkan, speedboat yang kami naiki pun langsung melesat laju meninggalkan dermaga. Jujur, ini merupakan pengalaman pertama saya naik speed river bus menyusuri sungai. Gilak ternyata kenceng banget laju perahunya sampai serasa terbang-terbang di atas air. Wooooww seketika, rasanya semua penat sirna tersapu kencangnya angin plus cipratan air sungai yang membuat nyaris sekujur tubuh saya basah kuyup.


Belum lagi hamparan pemandangan sepanjang Sungai Musi. Mulai dari lalu lintas kapal besar dan kecil, kehidupan masyarakat tepian sungai lengkap dengan sorak sorai bocah-bocah yang menceburkan diri mandi di sungai, hingga belantara pedalaman di sisi sungai yang masih terlihat asli. Semua tersaji selama kurang lebih dua jam perjalanan, berasa banget nuansa adventure-nya. Sumpah! saya hepi bangeet!


Suaka Margasatwa Padang Sugihan - Rumah Terakhir Gajah Sumatra di Bumi Sriwijaya

Setelah sekitar dua jam menyusuri belantara Sungai Musi, mata saya mulai melihat beberapa ekor gajah yang sedang berjalan merumput dan minum air di tepi sungai. Wah rasanya girang bukan kepalang, karena ini artinya kami sudah hampir tiba di tujuan. Benar saja. Tak berapa lama, perahu mulai menepi dan menambatkan talinya di sebuah dermaga kecil selebar tak lebih dari dua meter yang terbuat dari kayu. Terpampang jelas di hadapan saya sebuah gapura bertuliskan "Pusat Latihan Gajah Suaka Margasatwa Padang Sugihan".

Ketika saya masih terkesima seakan tak percaya melihat hamparan lahan gambut dan belantara sejauh mata memandang di hadapan saya, tiba-tiba saya dapati tangan seseorang yang terjulur untuk membantu saya turun dari perahu, ternyata sudah ada banyak petugas yang menyambut kedatangan kami dengan senyum ramah yang bersahabat. Mereka pun mengajak kami masuk ke dalam sebuah rumah dan satu-satunya bangunan rumah yang ada di tempat ini. Rumah yang juga merangkap fungsi sebagai kantor home base bagi para petugas Suaka Margasatwa Padang Sugihan.


Sambil menikmati makan siang, kami pun diberikan briefing sembari saling memperkenalkan diri dengan segenap petugas dalam suasana penuh keakraban. Mulai dari pimpinan, para pawang gajah, hingga para dokter hewan yang mengabdikan diri bertugas menjaga tempat ini.

Suaka Margasatwa Padang Sugihan adalah sebuah area hutan terisolasi seluas 750 Kilometer persegi atau sekitar 87 ribu hektar yang terbentang di wilayah kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Didirikan pada tahun 1983, suaka margasatwa ini menjadi tempat konservasi bagi gajah sumatra untuk menghindari konflik antara gajah dengan manusia yang mengancam kelestarian populasi gajah sumatra. Terdapat kurang lebih seratusan gajah yang mendiami kawasan konservasi ini yang terdiri dari 30 ekor gajah jinak dan sisanya adalah gajah liar.


Enam Hari Tinggal Bersama Gajah

Setelah sehari sebelumnya tim kami mendapatkan brief secara detail tentang seluk beluk kawasan SM. Padang Sugihan serta pengenalan teoritis dan karakteristik gajah sumatra beserta habitatnya. Pagi ini tiba saat kami mulai bekerja untuk melakukan penelitian sekaligus membuat film dokumenter.


Begitu matahari terbit, kami harus sudah beranjak untuk masuk ke dalam hutan. Sekilas, hutan di tempat ini terlihat seperti hamparan padang rumput luas yang tak bertepi. Bayangan pohon-pohon besar pun nampak sangat jauh sekali dari pandangan mata. Tapi jangan dianggap mudah untuk menjelajahi 'padang rumput' ini. Karena sejatinya area ini adalah kawasan hutan gambut basah. Jadi berjalan di atasnya sama rasanya dengan berjalan di rawa-rawa yang digenangi air.


Makanya, sepatu boots karet jadi alas kaki yang paling tepat untuk kita kenakan. Jangan sampe saltum kayak saya. Pergi ke Padang Sugihan yang dibawa sepatu trekking dan sandal gunung. Ya selamat.. 😄

Selama enam hari hidup di habitat gajah, seolah saya terlibat langsung dengan kehidupan mereka. Mengamati dari dekat dengan mata kepala sendiri, bagaimana gajah-gajah itu hidup, dari mulai makan, bersosial dengan koloninya, hingga gajah itu tidur di malam hari. Termasuk juga merasakan bagaimana para pawang di sini yang dengan sepenuh hati merawat gajah-gajah yang sudah jinak, melatihnya, menggembalakannya ke dalam hutan, memandikannya di sungai, hingga melakukan penanganan medis dan mengobati gajah yang sakit.


Di sini saya baru tahu kalau gajah sakit dan harus diberikan infus, maka jarum infusnya akan dimasukkan ke dalam pembuluh darah yang ada di telinganya. Dan sang pawang harus berdiri pada posisi yang lebih tinggi dari tubuh gajah dan dengan sabar terus memegangi kantong infus hingga cairannya habis.

Proses masukin jarum infus ke telinga gajah
Megangin botol infus selama berjam-jam pas tengah hari bolong. Ada yang mau nyoba?

Perpisahan itu Berat...

Makan bareng di camp yang bikin kangen.. 

Tak terasa, tiba juga hari terakhir kami berada di Padang Sugihan. Hati ini rasanya enggan pergi dan masih ingin terus berada di tempat ini. Menyatu dengan alamnya, melihat indahnya mentari yang terbit dan tenggelam tanpa penghalang, menghirup segarnya udara pagi tanpa polusi dan kebisingan, bermain bersama anak-anak gajah yang imut dan lucu, menikmati keheningan malam yang cuma ditemani nyanyian serangga dan angin di tengah belantara rimba, berkumpul bersama orang-orang baik yang hatinya dipenuhi rasa kasih sayang, kepedulian serta tanggungjawab terhadap kelestarian alam dengan satu alasan yang sama yaitu 'demi anak cucu kita kelak'.

Sebelum pulang

Sore itu kami pulang ke Palembang naik kapal kayu yang merupakan angkutan umum masyarakat setempat, jadi bukan speedboat carteran seperti waktu berangkat. Kehadiran kapal kayu tersebut bak pemutus segala kenikmatan dan keindahan hidup yang kami rasakan di 'alam gajah' ini. Saya dan teman-teman memilih duduk di atas atap kapal. Membiarkan diri terombang-ambing sambil sesekali tersiram percikan air sungai. Menikmati rindu yang sudah mulai hadir..


Sampai sekarang kadang saya masih kepikiran ama gajah-gajah di Padang Sugihan. Gimana kabar mereka sekarang ya? Semoga mereka baik-baik saja di sana. Begitu pun dengan para pawang yang menjaga mereka.

Satu yang pasti dan teramat saya syukuri, bahwa Tuhan telah berbaik hati memberi saya kesempatan untuk melakukan perjalanan dan bertualang menyaksikan kebesaran-Nya dalam mencipta alam semesta ini. Sebuah perjalanan yang tak akan mungkin terlupa sepanjang hidup saya, dan kelak akan menjadi cerita bagi anak cucu saya.


You Might Also Like

0 komentar