Jejak Sutan Sjahrir di Banda Naira
Sunday, June 08, 2025Kalau kamu pernah bermimpi traveling ke tempat yang penuh sejarah sekaligus punya vibe tenang nan magis, Banda Naira bisa jadi destinasi yang cocok banget. Selain terkenal dengan keindahan lautnya dan cerita seru soal rempah, pulau kecil ini juga menyimpan jejak tokoh besar Indonesia, Sutan Sjahrir. Salah satu Bapak Bangsa kita ini pernah menjalani masa pengasingan di sini, tepatnya di sebuah rumah sederhana yang kini masih berdiri kokoh dan penuh cerita.
Sutan Sjahrir Bukan Tokoh Sembarangan
Sutan Sjahrir bukan tokoh sembarangan. Beliau adalah Perdana Menteri pertama Indonesia dan juga salah satu intelektual paling keren pada masanya. Cerdas, idealis, dan punya pandangan jauh ke depan. Tapi justru karena sikap kritis dan idealismenya itulah, beliau beberapa kali mengalami pengasingan politik. Salah satu tempat pengasingannya adalah Banda Naira, yang waktu itu dikenal sebagai ‘tempat buangan’ bagi tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan.
Rumah Pengasingan yang Bisu, Tapi Bercerita
Pilar-pilar yang menambah kesan gagah
Rumah pengasingan Sjahrir di Banda Naira terletak di Jalan Said Tjong Baadillah. Lokasinya tidak jauh dari Rumah Budaya Banda Naira, mudah banget dijangkau dengan jalan kaki. Bangunan dengan arsitektur bergaya Eropa itu masih terlihat kokoh. Berdinding batu, dengan jendela-jendela besar khas rumah kolonial yang bikin udara dan cahaya bebas masuk. Enam buah pilar bergaya doria di teras rumahnya semakin menambah kesan kokoh pada rumah itu.
Jendela besar
Sekilas memang tampak sederhana, tapi begitu kamu masuk, suasananya langsung beda. Ada semacam aura hening yang terasa. Mungkin karena rumah ini menyimpan begitu banyak renungan, pemikiran, dan bahkan kesepian seorang tokoh besar.
Foto-foto dan mesin ketik yang menyimpan banyak cerita
Yang paling menarik perhatian? Sebuah gramofon tua yang masih berdiri anggun di salah satu sudut rumah.
Gramofon, Teman di Tengah Sunyi
Kira-kira musik apa yang beliau putar ya?
Coba bayangkan, Banda Naira di tahun 1936. Sunyi, jauh dari keramaian dunia luar. Dalam kesendirian itu, Sutan Sjahrir masih bisa menikmati musik dari gramofonnya. Benda ini bukan sekadar alat pemutar musik. Gramofon ini adalah simbol, tentang bagaimana Sjahrir menjaga semangat dan kewarasannya di tengah pengasingan. Nggak heran kalau banyak yang bilang, gramofon ini adalah benda paling personal dan menyentuh di rumah itu.
Apakah beliau memutar musik klasik? Jazz? Atau lagu-lagu Belanda yang beliau dengar sejak muda? Kita cuma bisa menebak. Tapi yang jelas, benda itu seperti jendela kecil yang menampilkan sisi manusiawi Sjahrir yang mungkin jarang diceritakan di buku sejarah.
Sjahrir dan Banda Naira
Sutan Sjahrir diasingkan ke Banda oleh Belanda pada tahun 1936. Sebelumnya beliau sempat ditahan di Boven Digoel.
Meski statusnya tahanan, Sjahrir tetap aktif dan dekat dengan masyarakat. Beliau mengajar anak-anak Banda, mengobrol dengan warga, dan tetap menyebarkan semangat kemerdekaan lewat cara yang halus tapi mengena.
Beliau dikenal senang membaca dan mendengarkan musik. Dua hal yang jadi pelarian dari rasa sepi, tapi juga membuatnya tetap ‘hidup’.
Mengunjungi rumah pengasingan Sutan Sjahrir bukan cuma napak tilas sejarah, tapi juga soal merasakan energi diam-diam dari perjuangan yang tak selalu berteriak. Tempat ini mengajarkan kita bahwa menjadi pejuang bukan selalu soal angkat senjata. Kadang, cukup dengan berpikir jernih dan tidak menyerah meski dibuang sejauh itu adalah bentuk perlawanan terbaik.
Ditambah lagi, suasana rumah ini tenang banget. Cocok buat kamu yang lagi butuh detoks dari dunia digital. Duduk di terasnya sambil menikmati lengangnya jalanan di Banda Naira. Sebuah healing dengan bonus cerita sejarah.
Cobalah Singgah Meski Sejenak
Waktu ke Banda Naira, aku sempatkan untuk mampir ke rumah pengasingan Sutan Sjahrir. Datangnya siang hari, tepat ketika matahari bersinar dengan teriknya. Begitu melangkah masuk ke teras rumah, rasanya kayak disambut diam-diam oleh kisah masa lalu. Suasananya adem.
Aku sempat diam cukup lama di depan gramofon yang ada di rumah itu. Rasanya seperti melihat sisa-sisa kehangatan dari seseorang yang dulu mencoba tetap waras dan berbudaya di tengah keterasingan. Ada getaran halus yang tak bisa dijelaskan, tapi bikin hati terasa hangat.
Aku keluar rumah itu dengan langkah pelan, membawa semacam perenungan baru tentang makna perjuangan yang tenang, yang tetap hidup walau dibungkam.
Kalau suatu hari kamu ke Banda Naira, luangkan waktu untuk mampir. Rumah Sutan Sjahrir bukan cuma bangunan tua, tapi semacam ruang refleksi tentang sunyi, pemikiran, dan keteguhan yang tak pernah pudar.
0 komentar