Dari Ratenggaro ke Prai Ijing Kami Belajar Mengenal Sumba

Monday, September 17, 2018


We should accept diversity in culture and tradition and coexist peacefully - Haile Selassie

Bisa melihat langsung, apalagi ikut merasakan kehidupan sehari-hari masyarakat suatu daerah sungguh merupakan pengalaman tak ternilai. Makanya, saya selalu excited kalau ada kesempatan mengunjungi desa adat. Seperti perjalanan saya ke Sumba beberapa waktu lalu. Saya berkesempatan mengunjungi dua kampung adat yang ada di sana. Kampung Adat Ratenggaro di Sumba Barat Daya, dan Kampung Adat Prai Ijing di Sumba Barat.

Selamat Datang di Ratenggaro

Sudah lewat tengah hari ketika mobil kami sampai di Ratenggaro, salah satu kampung adat yang ada di Sumba Barat Daya. Tepatnya di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo. Matahari bersinar terik di langit Sumba. Sambutan ramah dan hangat dari masyarakat Kampung Ratenggaro sejenak membuat kami lupa akan teriknya matahari siang itu.

Selamat datang di Ratenggaro

Anak-anak kecil mengerubungi kami. Ada yang menawarkan kalung, ada yang menawarkan kain tenun, ada juga yang hanya sekadar mengikuti kami sambil tersenyum malu-malu kalau disapa. Anak-anak yang gigih. Meski kami menolak dengan halus, mereka tetap gigih menawarkan dagangannya. Sebelum turun dari mobil, kak Arto sudah mengingatkan agar kami hati-hati dengan anak-anak di sini. Kadang mereka suka memaksa pengunjung membeli dagangan yang mereka bawa.

Kain tenun di depan rumah warga

Seorang bapak berperawakan tegap bernama Lukas menemani kami keliling kampung. Berjalan di antara rumah-rumah adat Sumba yang atap ilalangnya menjulang tinggi. Konon atap rumah di Ratenggaro ini adalah yang tertinggi dibanding rumah-rumah adat lainnya di Sumba. Rumah yang tertinggi mencapai 25 meter.

Rumah-rumah di Ratenggaro

Ada 15 rumah di Kampung Ratenggaro. Menurut pak Lukas, masing-masing rumah punya nama sendiri. Seperti rumahnya yang bernama Uma Habelili. Selain Uma Habelili, ada juga yang bernama Uma Kalama, Uma Tuku, dan banyak lagi. 

Kami berhenti di sebuah rumah. Di berandanya tampak dua anak perempuan tengah asyik bermain kolla, sejenis permainan congklak kalo di Jawa. Di depan rumah itu ada beberapa kerajinan tangan hasil karya penduduk Ratenggaro. Ada ketimbu ketara, yaitu tempat kapur sirih yang terbuat dari kayu kadimbil. Ada katopo atau parang yang gagangnya dari tanduk kerbau dan sarungnya terbuat dari kayu linyo.

Kerajinan tangan hasil karya penduduk Ratenggaro

Anak-anak bermain kolla

Pak Lukas dan dungganya

Dungga

Sambil berkeliling dan bercerita banyak hal tentang kampungnya, pak Lukas asyik memainkan dungga. Jemarinya lincah memetik dawai alat musik tradisional Sumba itu. Kami berjalan kaki sampai ke sisi lain kampung. Teenyata Kampung Ratenggaro ini berada di atas bukit. Dan di bawah sana, ada pantai yang berpasir putih yang cakep banget. Pantai Rate Woyo namanya.

Pantai Rate Woyo

Kami duduk-duduk di atas bukit menikmati pemandangan. Beberapa orang anak ikut duduk bersama kami. Pak Lukas masih menemani kami. Beliau bercerita tentang kubur batu dan asal nama Ratenggaro. Mendengar cerita pak Lukas, seketika saya merasa terlempar ke zaman megalithikum, sekitar 4500 tahun yang lalu.

Kubur Batu

Ratenggaro berasal dari kata 'Rate' yang artinya kuburan, dan 'Garo' yang berarti orang-orang Garo. Menurut cerita, pada zaman dahulu, ketika masih terjadi perang antarsuku, penduduk desa ini berhasil merebut desa orang-orang Garo. Mereka yang kalah perang, akan dibunuh dan dikubur di tempat itu. Jadi, Ratenggaro ini adalah kuburan orang-orang Garo yang meninggal dibunuh karena kalah perang. Total ada sekitar 304 kuburan batu di desa ini. Wow!

Kubur batu di Ratenggaro

Kubur batu ini sempat bikin saya penasaran. Di sepanjang jalan yang kami lewati, di depan rumah warga selalu terlihat bangunan kotak dari batu. Ukurannya beragam. Ornamen yang menjadi hiasannya pun beragam. Ternyata bangunan itulah kubur batu yang merupakan peninggalan nenek moyang dari zaman megalithikum.

Kubur batu di Prai Ijing

Kubur batu ini dibuat sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka yang sudah meninggal. Makanya dibuat seindah mungkin, dengan ukiran di setiap sisinya. Di Sumba, kalau ingin melihat status sosial atau martabat seseorang, lihatlah kubur batunya. Semakin indah dan megah sebuah kubur batu, berarti semakin tinggi pula status sosialnya.

Kubur batu dengan pahatan tanduk kerbau

Filosofi Dapur

Sewaktu akan menyerahkan donasi untuk Kampung Adat Ratenggaro di salah satu rumah, pemiliknya mempersilakan kami masuk untuk melihat-lihat bagian dalam rumahnya. Tawaran yang tidak mungkin kami tolak, tentu saja. 

Rumah adat di Ratenggaro ini merupakan rumah panggung yang terdiri dari 4 tingkat. Paling bawah, adalah tempat untuk hewan peliharaan. Di tingkat kedua, tempat dimana kami berada saat itu, adalah tempat tinggal para pemiliknya. Kemudian di atasnya, adalah tempat untuk menyimpan hasil panen. Dan di tingkat teratas digunakan untuk menyimpan tanduk kerbau sebagai simbol kemuliaan.

Bagian dalam rumah di Ratenggaro

Hasil panen

Yang menarik adalah posisi dapurnya yang berada di tengah-tengah ruangan. Rupanya bukan tanpa alasan posisi dapur diletakkan di tengah ruangan seperti itu. Dapur di tengah rumah itu filosofinya adalah karena memasak itu harus dari hati. Menyajikan masakan untuk anggota keluarga dengan perasaan ikhlas dan bahagia. Sungguh sebuah filosofi yang menarik. Kalo masaknya sudah dari hati begitu, makannya pasti jadi lebih nikmat ya..

Dapur di tengah rumah

Kami bersama warga Ratenggaro

Melipir ke Prai Ijing

Di hari lain, dalam perjalanan ke Sumba Timur, kami singgah di Kampung Adat Praijing di Sumba Barat. Tepatnya berada di Desa Tebara, Kecamatan Waikabubak. Hujan turun rintik-rintik sewaktu kami sampai di Prai Ijing. Berbeda dengan Ratenggaro yang ramai, suasana di Prai Ijing terkesan lebih tenang. Hujan rintik-rintik pagi itu seolah semakin memperkuat kesan syahdu di Prai Ijing.

Tulisan lengkap tentang Desa Prai Ijing silakan baca di sini. Menikmati Syahdunya Desa Adat Prai Ijing

Desa adat Prai Ijing

You Might Also Like

16 komentar

  1. Buseett dahhh bikin ngiri mbak Dian, petualangannya udah sampai ke daerah yang beginian... gimana caranya kalau mau kesana juga mbak

    ReplyDelete
  2. Kakkkkkkkkkk bagus banget cerita dan foto-fotonya. Sumba itu salah satu impianku di Indonesia aaaaahh :3. I wish someday I can be there :3 Cerita lagi dong kak tentang Sumba

    ReplyDelete
  3. Desa adatnya cantik bangets Mbak... Foto-fotonya keren... Itu ada satu anak yang kayak bule ya, hehehe... BTW gemana mereka mengawetkan kepala kerbau itu Mbak? Kapan kepala kerbau itu diletakkan di depan rumah?

    ReplyDelete
  4. Duh cakepppp banget nih desa, spot photo2nya juga kerennnn nih hahaha

    ReplyDelete
  5. ya allah mbak dian, iriiii dehh... jalan-jalan seperti ini lebih berkesan deh, pengalamannya dan serunya gak terbayangkan.. thanks for sharing mbak dian

    ReplyDelete
  6. wah. cantik banget mbak. pemandangannya keren banget. Pengen banget sesekali pergi ke tempat beginian di Indonesia. semoga suatu hari kesampaian ya 😊

    ReplyDelete
  7. Duh, langsung ngences, ngiler baca postingan ini! Langsung ingat kuda sumbawa, haha. Pemandangannya kece badai, Mba, kultur budayanya juga pasti jangan ditanya lagi, mempesona. Kapan ya, bisa ke sini? Ga jadi2 melulu, ih! Masukin ke list of my destination lagi, ah! :)

    ReplyDelete
  8. Happy nya bisa sampai di sana..aku masih mimpi ini pengen kesana kesana

    ReplyDelete
  9. Wah anak Sumba ada yang kayak bule ya, mbak. Keren euy foto-fotonya

    ReplyDelete
  10. Wah, keren banget! AKu belum pernah sih ke kampung adat.

    ReplyDelete
  11. Kak Dian,indah banget kak. Sumpah. Inginku kesana suatu hari nanti

    ReplyDelete
  12. Indah banget kak Dian. Sumba itu membuatku speechless saat melihat keindahan alamnya

    ReplyDelete
  13. Ya Allah, tenang dan damai banget ya rasanya hidup di sana. Hidup sederhana dengan fikiran sederhana.

    ReplyDelete
  14. Kain tenunnua ituloh bagus. Apalagi kalau dasar warnanya hitam. Motifnya warna warni. Suka lihatnya.

    Btw nama mainan di sana Kolla ya. Hihi...

    ReplyDelete
  15. Suka banget dengan atap rumah tradisional mereka ini. Sampe 25 meter gitu ya, udah kayak gedung berapa lantai itu. Pengen banget ke Sumba dari dulu, sayang tiketnya masih mahaln dibanding piknik ke negara lain :(

    ReplyDelete
  16. Wow! Benern seperti dibawa ke zaman megalithikum <3 <3
    Btw,kolla itu congklak (dakon) ya :)

    ReplyDelete