Tertampar di Pulau Akar

Friday, September 25, 2015


Wajahnya manis. Rambut panjangnya diikat ekor kuda. Sorot matanya cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Senyumnya malu-malu ketika pertama kali menyapa saya. Gadis manis itu bernama Putri. Gadis manis inilah yang 'menampar' saya di Pulau Akar. Darinya pula saya mendapat banyak hikmah dalam perjalanan kali ini.

Saya mengenal Putri di sebuah pulau kecil bernama Pulau Akar. Pulau kecil yang masuk wilayah Kelurahan Setokok, Kecamatan Bulang, Batam ini luasnya hanya 14 Ha. Sangat kecil. Hanya perlu waktu tak lebih dari 1 jam untuk mengelilinginya. Bahkan mungkin kurang dari itu.

 Rumah nelayan di Pulau Akar

“Kenapa pulau ini diberi nama Pulau Akar?” Tak seorang pun menjawab. Tentu saja. Karena pertanyaan itu hanya saya ucapkan dalam hati. Anggap saja saya sedang bermain tebak-tebakan dengan diri sendiri. Saya melanjutkan perjalanan sambil terus mencari, kira-kira dari mana asal nama Pulau Akar diambil? 

Mata saya  terpaku pada satu bangunan berwarna kuning cerah, Masjid Nurul Bahari. Nama yang tepat untuk menggambarkan masjid yang terlihat bagai cahaya di tengah lautan ini. Warna kuning cerahnya mengingatkan saya pada Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat. Tampak mencolok di antara rimbun pepohonan yang menaunginya. 

 Masjid Nurul Bahari

Masjid  inilah yang terlihat dari Pulau Bali sewaktu saya kemping di sana beberapa waktu yang lalu. Pulau Bali yang saya maksud di sini tentu saja bukan Pulau Dewata yang terkenal itu. Pulau Bali yang ini hanyalah sebuah pulau kosong yang letaknya tak jauh dari Pulau Akar. Entah siapa yang iseng memberinya nama Pulau Bali. 

Saya melangkah masuk ke halaman sebuah Sekolah Dasar Negeri yang ternyata sudah ramai. Gedung sekolah ini akan menjadi pusat kegiatan acara bakti sosial yang diselenggarakan oleh FLP Batam. Tumpukan kardus berisi buku memenuhi teras salah satu ruang kelas. Buku-buku itulah yang akan disumbangkan kepada penduduk Pulau Akar ini. Selain buku bacaan anak-anak, ada juga buku-buku agama dan buku-buku pelajaran sekolah. Dan untuk tujuan inilah, saya berada di pulau kecil ini. 

 Tumpukan kardus berisi buku-buku bacaan

Acara bakti sosial yang diberi judul “FLP goes to island” ini berlangsung meriah. Masyarakat Pulau Akar, terutama anak-anak, menyambut dengan antusias kedatangan rombongan kami. Mereka terlihat saling lirik dan saling bisik, menebak-nebak apa isi dari tumpukan kardus yang kami bawa. 

Dan voila! Bocah-bocah itu bersorak kegirangan begitu mengetahui apa yang ada di dalam kardus-kardus itu. Mata mereka berbinar melihat buku bacaan anak dengan sampulnya yang beraneka warna. Jelas terlihat mereka sangat merindukan hadirnya buku-buku bacaan seperti ini. 

Di pulau kecil ini, jangankan taman bacaan, gedung sekolah yang ada hanyalah gedung Sekolah Dasar. Iya, bangunan dengan tiga ruang kelas yang kami pakai untuk acara bakti sosial inilah satu-satunya gedung sekolah di pulau ini. 

Ribuan tanya memenuhi kepala saya. Apakah di pulau ini hanya ada anak-anak usia SD? Apakah gedung sekolah dengan tiga ruang kelas ini mampu menampung semua anak usia sekolah? Bagaimana dengan anak-anak usia SMP atau SMA? Tidak sekolah kah mereka? Kalau mereka sekolah, di mana mereka bersekolah? 

Ribuan tanya itu tak terjawab. Saya memperhatikan wajah polos bocah-bocah yang masih asyik dengan buku-buku bacaan di tangannya. Mereka memperlakukan buku-buku itu dengan hati-hati, layaknya memegang benda berharga. 

Berkenalan dengan Putri

Seorang gadis manis menyapa saya dari balik jendela ketika saya sedang asyik memperhatikan bocah-bocah yang duduk manis di dalam kelas. Bocah-bocah itu tengah sibuk menuangkan buah pikiran mereka menjadi sebuah karangan. Lomba mengarang ini adalah salah satu lomba yang diselenggarakan FLP Batam untuk memeriahkan acara bakti sosial hari ini. Dengan malu-malu, gadis yang mengaku bernama Putri itu meminta ijin untuk mengikuti lomba mengarang. 

Saya meninggalkan gedung sekolah dan berjalan menuju pantai. Karena teman-teman FLP Batam juga akan mengadakan beberapa permainan di sana. 

Saya sedang mengobrol santai dengan seorang teman, ketika mata saya menangkap sesuatu. Segerombol pepohonan hijau dengan akar-akarnya yang muncul di permukaan tanah. Mangrove. Ahaaa!

 Mangrove

Saya sudah sampai di sisi lain dari pulau ini. Dan pada sisi ini, tanaman mangrove tumbuh di tepi pantainya serupa pagar yang siap melindungi pulau ini. Memang tidak sampai penuh mengitari pantai, tapi cukuplah bagiku untuk menyimpulkan, darimana asal nama pulau ini diambil? Saya masih asyik menimbang-nimbang kesimpulan tentang asal nama pulau ini ketika suara langkah kaki berlari berhampiri. Ternyata Putri yang mengejar saya. Aaah.. saya bahkan nyaris melupakan perkenalan dengan gadis ini gara-gara akar mangrove yang saya lihat barusan. 

"Putri kelas berapa?" tanya saya.
"Kelas 1 SMP, Kak." jawabnya sambil memperhatikan teman-temannya yang asik bermain.
Ahaa! Mingkin ini yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tadi sempat singgah di pikiran saya.
"SMP nya di mana, Put? Di sini kan nggak ada sekolah SMP?"
"Saya sekolah di Pulau Panjang, Kak."

Dari percakapan itu kemudian mengalirlah cerita dari seorang gadis kecil bernama Putri. Karena di pulau ini hanya ada sekolah SD, maka Putri dan teman-temannya yang ingin melanjutkan ke jenjang SMP harus bersekolah di luar Pulau Akar. Pilihannya adalah bersekolah di Pulau Panjang atau di Batam. Tapi kebanyakan memilih sekolah di Pulau Panjang, karena biayanya lebih murah daripada melanjutkan sekolah di Batam.

 Anak-anak Pulau Akar riang bermain

Untuk menuju sekolahnya yang ada di Pulau Panjang, Putri dan teman-temannya harus menggunakan pompong. Setelah terombang-ambing di tengah laut selama sekitar 30 menit, barulah mereka sampai di sekolah. 

Yang jadi masalah adalah kalau turun hujan. Mereka akan sampai di sekolah dalam keadaan basah kuyup. Sementara hujan di Pulau Batam ini tidak kenal musim. Namanya juga wilayah kepulauan. 

"Loh, pompongnya nggak ada penutupnya ya?" tanya saya penasaran.
"Ada, Kak. Tapi terpal penutupnya sudah robek-robek. Jadi tetap saja kami basah kuyup sampai di sekolah. Buku-buku kami juga basah semua."
"Kalau hujan kalian tetap berangkat sekolah?"
Putri mengangguk.

Saya hanya diam. Jujur saya merasa tertampar dengan penuturannya barusan. Putri, juga teman-teman kecilnya yang dengan segala keterbatasan keadaan tetap mempunyai semangat tinggi untuk berangkat sekolah. Jauhnya jarak dan beratnya rintangan tak menyurutkan semangat mereka untuk terus menuntut ilmu. Sementara saya? Jaman SMP dulu saya paling sering bolos sekolah. 

 Saya dan Putri

Saya percaya, selalu ada hikmah dalam setiap perjalanan. Dan perkenalan saya dengan Putri adalah satu dari sekian banyak hikmah yang saya dapat di pulau kecil ini. Terima kasih, Putri. Untuk ceritamu yang telah menampar saya.

You Might Also Like

13 komentar

  1. huhuhuhuhu... terharu banget. Orang banyak berkata tentang rendahnya minat baca di negeri kita. Tapi gimana mau baca, wong buku saja terbatas jumlahnya. :( ira

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener, mbak.. Minat baca di negeri kita masih sangaaat rendah. Perpustakaan dan taman baca kurang peminatnya.. :(

      Delete
  2. Disitu saya merasa lelah. Kita nih punya anyak kayu, kenapa buku yang menjadi mata ilmu dan jendela duni justru mahal. di India buku sangat murah, dapat subsidi banyak dari pemerintah. makanya turis turis kalau ke India pasti mborong buku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ohh.. pantesaaan.. si Ashwin temenku yang orang Goa itu kalo pulang ke India selalu beliin aku setumpuk komik dan buku bacaan dari sana. Bagus-bagus..

      Delete
  3. Wah baru tau kalau ada pulau Bali lainnya selain pulau Dewata :D
    Jangan2 namanya Putri Normalita ya mbak?! #Ehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehe.. itu cuma orang-orang sekitar yang kasih nama Pulau Bali. Cuma pulau kecil sih. Dan sekarang udah jadi private island :D
      Eh bisa jadi nama lengkapnya emang Putri Normalita.. hahahaha.. aku lupa nanya sih kemaren itu :D

      Delete
  4. Sekolah aja harus ke pulau sebelah. Duh, berat sekali perjuanganmu dik. Semoga ilmunya barokah dan bermanfaat di kemudian hari.

    Btw, baru ngeh kalo FLP masih (se)eksis ini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin...
      FLP Batam udah lama juga sih gak ada kegiatan, Yan...

      Delete
  5. mesjidnya kuning gonjreng bikin silau hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha.. iya gonjreng banget. Kalo dilihat dari laut tapi jadi cakep looh...

      Delete
  6. MasyaAllah :'( belajar banyak dari Putri

    ReplyDelete
  7. saya salut sama perjuangan si Putri ini ... tetap semangat walau sekolah di pulau sebelah

    ReplyDelete