Pejuang Pendidikan dari Aikprapa, yang Tetap Semangat Meski Hanya Dibayar Pisang

Friday, August 18, 2023


Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik - Ali bin Abi Tholib

Mungkin ini yang ada di pikiran Marwan Hakim kala itu. Perasaan kecewa terpaksa putus sekolah karena tak ada biaya. Ditambah lagi lingkungan yang tidak paham akan pentingnya pendidikan. Membuatnya bertekad untuk berbuat sesuatu sebagai upaya pembalasan dendamnya. 

Saya pun teringat akan sebuah obrolan dengan Pak Hadi, guide yang menemani saya dan teman-teman travel blogger keliling Lombok pada tahun 2015 lalu. Pagi itu kami sedang asyik menikmati matahari terbit di Bukit Pergasingan, Sembalun Lawang, Lombok Timur. 

Selama di Lombok Timur, kami sering mendapati anak lelaki usia sekolah sedang sibuk bekerja di ladang. Sementara anak perempuan usia sekolah sibuk mengurus bayi dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Pagi itu saya tergelitik untuk bertanya lebih jauh tentang kehidupan masyarakat Lombok Timur pada Pak Hadi.

"Anak-anak di sini nggak ada yang sekolah tinggi, mbak. Apalagi anak perempuan. Rata-rata lulus SD sudah dinikahkan."

"Kenapa bisa begitu, Pak?"

"Soalnya di sini, kalau sampai umur 15 tahun belum menikah, itu dianggap aib, mbak. Orang tuanya yang akan malu. Karena anaknya dianggap nggak laku. Di sini, anak-anak cukup sekolah sampai SD saja."

Penjelasan dari Pak Hadi cukup membuat saya terkejut. Terdengar miris, tapi inilah faktanya. Saya memandangi hamparan desa nan cantik yang dipeluk anggunnya Gunung Rinjani dengan perasaan campur aduk. Rasanya berat untuk menerima kenyataan, bahwa di belahan bumi yang indah ini, masyarakatnya masih apatis terhadap dunia pendidikan.

Saya menikmati pemandangan Lombok Timur dari Bukit Pergasingan

Balas Dendam Terbaik

Ketiadaan sekolah formal di tempatnya tinggal, dan perasaan kecewanya karena tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi membuat Marwan Hakim dendam. Sebagai upayanya untuk membalas dendam, Marwan gigih berjuang untuk mendirikan sekolah di Aikprapa, sebuah desa yang berada di kaki Gunung Rinjani. Tepatnya di Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ia ingin anak-anak di Lombok Timur memperoleh pendidikan yang baik. Jauh lebih baik daripada dirinya yang terpaksa putus sekolah di tengah-tengah bangku SMA.

Seperti cerita yang juga saya dapat dari Pak Hadi, bahwa pendidikan formal bukanlah termasuk hal penting di Lombok Timur. Tapi untungnya, masyarakat Lombok Timur masih menganggap bahwa pendidikan agama adalah hal yang penting. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh Marwan untuk mengubah paradigma yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat. 

Rela Jadi Tukang Ojek

Keterbatasan modal tidak menyurutkan niat Marwan untuk membalaskan dendamnya. Ia menjadikan tempat tinggalnya sebagai langkah awal untuk mulai memperjuangkan pendidikan di Aikprapa. Pada tahun 2002, Marwan mendirikan sebuah pesantren kecil di lahan seluas 35 meter persegi miliknya. 

Pesantren pertamanya itu hanya memiliki 3 orang murid. Namun Marwan pantang menyerah. Ia bahkan rela mengantar jemput ketiga muridnya ini agar mereka tetap bersekolah. Tak heran kalau akhirnya masyarakat di luar Desa Aikprapa mengira beliau adalah seorang tukang ojek. 

Bayar Sekolah Pakai Pisang

Perjuangan Marwan untuk mendirikan sekolah di Aikprapa tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun perlahan tapi pasti, jumlah murid yang tertarik untuk belajar di pesantren miliknya semakin bertambah. 

Melihat kegigihan Marwan, akhirnya banyak orang tua yang mulai luluh dan percaya untuk menyekolahkan anaknya. Bahkan beberapa temannya dengan sukarela ikut membantu menjadi tenaga pengajar. Marwan sejak awal tidak berani merekrut tenaga pengajar karena khawatir tidak bisa memberi gaji yang layak. Guru-guru yang membantu mengajar di sekolahnya hanya digaji sebesar Rp 5000 per jam. 

Sekolah yang didirikan oleh Marwan benar-benar didasari oleh keikhlasan dan sukarela. Saking ikhlasnya, bahkan kalau ada orang tua murid yang tidak mampu membayar uang sekolah, pihak sekolah dengan ikhlas menerima pembayaran berupa pisang, asal si anak tetap bisa bersekolah.

Perjuangan Mendapatkan Ijin yang Tidak Mudah

Ketika gedung sekolah sudah berdiri, dan ratusan murid sudah siapi untuk belajar. Giliran urusan perijinan yang mengantri menjadi masalah berikutnya. Berulang kali Marwan mengajukan ijin pada Dinas Pendidikan setempat, namun hanya penolakan yang didapat. 

Teman-teman Marwan menyarankan untuk menyogok saja biar urusannya jadi lebih mudah. Saran yang tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Marwan. Karena ia tak ingin apa yang sudah susah payah dirintisnya dengan bermodal keikhlasan dan kebaikan, harus dinodai dengan praktik suap. 

Kesabaran dan kegigihan Marwan akhirnya membuahkan hasil. Setahun kemudian ijin dari Dinas Pendidikan akhirnya berhasil didapatkan. Maka resmi berdirilah sekolah SMP dan SMA pertama di Desa Aikperapa yang diperjuangkannya selama ini. 

Apresiasi SATU Indonesia Award untuk Sang Pejuang Pendidikan

Marwan Hakim mendapat penghargaan SATU Indonesia Award (dok. kbr.id)

Kegigihan Marwan memperjuangkan pendidikan di Aikprapa mendapat apresiasi Semangat Astra Terpadu untuk (SATU) Indonesia Awards untuk bidang pendidikan pada tahun 2013. Tepat 10 tahun setelah ia memulai perjuangannya mendirikan sekolah.

Kiprahnya dalam memperjuangkan pendidikan di daerah tempat tinggalnya sejalan dengan semangat Astra, berkarya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar serta membawa semangat perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.


Referensi:

  • https://kbr.id/ragam/10-2013/marwan_hakim__bermodalkan_rp_1_7_juta_bangun_sekolah_di_wilayah_terpencil/62906.html
  • https://nasional.tempo.co/read/1200795/perjuangan-marwan-hakim-dalam-membangun-dunia-pendidikan
  • ebook SIA 2023

You Might Also Like

0 komentar