Warisan Lampau Budaya Lampung di Gedung Batin

Tuesday, August 09, 2016


A nation's culture resides in the hearts and in the soul of its people - Mahatma Gandhi

Setelah menempuh perjalanan sekitar 40 menit atau 22 km dari Blambangan Umpu, ibukota Kabupaten Way Kanan, akhirnya sampai juga di Gedung Batin. Jalan yang kami lewati sudah cukup baik. Baru setelah memasuki Desa Gedung Batin kami melewati jalanan berbatu dengan pohon-pohon karet yang berbaris rapi di sisi kanan dan kiri jalan.

 Tugu Pencanangan Kampung Wisata Lestari

Sebuah Tugu Pencanangan Kampung Wisata Lestari Gedung Batin berdiri tegak di sebuah persimpangan jalan. Seolah memang dipersiapkan untuk menyambut siapa pun yang bertandang ke kampung ini. Pada tugu tersebut terdapat sebuah prasasti yang terbuat dari fosil kayu. Prasasti itu ditandatangani oleh Sekjen Kebudayaan dan Pariwisata, Dr. Sapta Nirwandar.

Prasasti dari fosil kayu

Kampung Tua yang Bersahaja

Jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu yang saya rasakan sewaktu berada di kampung yang di dalamnya berdiri rumah-rumah panggung khas Lampung yang usianya mencapai ratusan tahun ini. Rumah-rumah panggung itu hingga kini masih terlihat kokoh. Kayu mampang dan kayu tembesu yang menjadi material utamanya terbukti mampu bertahan hingga ratusan tahun. Kayu-kayu itu dibiarkan seperti warna aslinya. Sehingga warna rumah di kampung ini terlihat seragam. Tak perlu polesan berlebih. Kampung ini justru terlihat bersahaja dalam balutan kesederhanaannya. 

Salah satu rumah yang usianya lebih dari 3 abad

Tumpukan kayu bakar

Suasana Kampung Gedung Batin

Ibu-ibu yang mengobrol di kolong rumah, serta bocah-bocah yang asik bermain dan berlarian di jalan kampung yang lengang, membuat suasana kampung ini jadi lebih hidup. Saya rindu suasana seperti ini. 

Para ibu yang mengobrol di kolong rumah

Bersama Najwa, bocah kecil dari Gedung Batin yang ramah. Foto by mas Yopie


Kami menuju rumah salah satu warga. Menurut pemiliknya, rumah itu sudah berusia 370 tahun. Wow! Baru sampai di berandanya saja saya sudah dibuat takjub. Berandanya luas banget! Kami dipersilakan untuk melihat-lihat bagian dalam rumahnya. Saya hanya bisa berdecak kagum. Ternyata perabotan di dalam rumah seperti kursi dan lemari pun sama tuanya dengan rumah itu sendiri. Ada juga cangkir-cangkir kuningan, dan peralatan untuk menginang yang sudah berumur ratusan tahun. Engsel jendelanya juga unik dan kuno. Engsel tersebut buatan Inggris. Sekilas bentuknya mirip dengan ujung tombak.

 Kursi ini sudah berumur 300 tahun loh

Engsel jendela buatan Inggris

 Lada ini merupakan hasil kebun mereka

 Lemari berisi benda-benda kuno

Desva menunjukkan alat menginang dari kuningan

Kami sedang asik mengobrol di beranda, ketika ibu pemilik rumah menghidangkan kopi untuk kami. Huaaaaa! Rasanya saya pengen teriak saking senengnya. Akhirnya kesampaian juga nyeruput kopi di beranda rumah yang usianya hampir mencapai empat abad. Mas Yopie melirik saya sambil senyum-senyum. Pasti dia hepi karena 'racun'nya bekerja sempurna. Makasih ya, mas 😄 Saya gak nolak kok kalo 'diracunin' lagi. Hahaha...

Kopi dan rumah tua

Akhirnya! Keturutan juga nyeruput kopi di sini.. Ngupi pay! Foto by mas Yopie

Sorenya kami diajak main ke Sungai Way Besai. Tidak jauh. Hanya beberapa meter dari rumah tempat kami menikmati kopi tadi. Sepanjang jalan menuju sungai tercium aroma karet yang berasal dari perkebunan karet yang berada di tepian sungai.

Sebuah jembatan gantung membentang di atas sungai. Seolah tak ingin melewatkan setiap moment, kami pun ribut menjadikan jembatan ini sebagai spot foto. Maklum, jarang-jarang kami bisa melihat dan menikmati pemandangan seperti yang ada di sini. Jadi, maklumin aja ya segala kenorakan kami 😄

Foto bareng di Jembatan Sungai Way Besai

Konon katanya, di Sungai Way Besai ini ada ikan yang ukurannya sebesar kerbau. Dikenal dengan nama ikan tapa. Jangan tanya saya ikan jenis apa si ikan tapa itu? Karena saya sendiri juga gak tau. Sore itu kami belum jodoh bertemu si ikan tapa. Mungkin lain waktu.

Nungguin ikan tapa, hehehehe...

Indra sempat mengusulkan pada teman-teman dari Dispar Way Kanan, bagaimana kalau Sungai Way Besai ini dimanfaatkan untuk bamboo rafting seperti di Loksado sana. Hmm... sounds great! Saya langsung membayangkan sedang menyusuri sungai ini dengan rakit. Menikmati suasana pedesaan yang masih alami. 

Sungai Way Besai

Menginap di Gedung Batin

Malam itu kami menginap di rumah Pak Ali Bakri, salah seorang warga Gedung Batin. Saya excited banget membayangkan akan tidur di sebuah rumah yang usianya sudah mencapai 370 tahun. Bisa menginap di rumah warga, dan ikut merasakan langsung keseharian mereka merupakan sebuah kemewahan perjalanan bagi saya. Pemilik rumah menyiapkan kamar untuk kami. Tapi kami lebih memilih tidur rame-rame di ruang tamu. Kapan lagi bisa merasakan kemewahan seperti ini... Terutama Indra, yang akhirnya menemukan tempat tidur VIP di kolong meja. 

Mencari kehangatan di kolong meja

Pemilik rumah itu menerima kami dengan baik. Tak hanya merelakan ruang tamunya kami acak-acak jadikan tempat tidur, mereka juga menjamu kami dengan makan malam dan sarapan. Bukan makanan mewah. Tapi makanan rumahan yang justru bikin kami feels like home. 

Menu makan malam

Suasana makan malam yang bikin kangen.. 

Malam beranjak turun. Gelap dan dingin menyelimuti Gedung Batin. Suara jangkrik dan tonggeret bersahutan. Kami asik berbincang di ruang tamu sambil sesekali menggigil kedinginan karena angin yang menyusup masuk lewat celah-celah kayu. 

Ngerubutin mas Yopie demi foto-foto keceh yang siap diposting di medsos 😜

Ini yang namanya tidur bareng 😄

Di Gedung Batin ini saya merasa waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Mungkin karena terbawa suasana yang tenang dan damai. Sungguh saya menikmati setiap detik yang terlewati di kampung ini. Menikmati kebersamaan kami. Karena besok-besok suasana seperti ini pasti akan sangat saya rindukan.

Cari tambahan biaya ngetrip dengan buka jasa rias pengantin.. hahaha

Ada rasa enggan sewaktu harus meninggalkan kampung ini. Saya sudah terlanjur jatuh cinta. Pada rumah-rumah tuanya. Pada suasana kampungnya yang damai. Pada keramahan penduduknya. Pun pada secangkir kopi yang saya nikmati di berandanya. 

***


Wherever you go, go with all your heart. Begitu bunyi salah satu kutipan dari Confusius. Saya pun selalu begitu. Ke manapun pergi, saya selalu pergi dengan sepenuh hati. Tapi sayangnya, waktu pulang saya kerap lupa membawanya kembali. Dan kali ini, rasanya separuh hati saya masih tertinggal di Gedung Batin. 

You Might Also Like

24 komentar

  1. Banyak sekali cerita bermalam di Gedung Batin ini ya. Dari tidur di kolong meja sampai cari tambahan dgn jadi perias pengantin wkwkwkw

    Aku pingin jalan lagi bareng kalian!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku jugaaaa!
      Pokoknya perjalanan kemaren tak terlupakan banget ya mbak.. Banyak banget ceritanya :D

      Delete
  2. Suasananya masih berasa kampung bgt ya mba, pengen deh ngerasain suasana kayak gituuuu.. Apalagi rumahnya ya, tua banget, asik banget tidur rame-rame begitu ^-^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Eka.. suasananya tuh tenaaaang banget. Bikin betah! Iya bener. Jalan rame-rame kayak gitu bikin jadi makin seru..

      Delete
  3. Satu hal yg pasti kita temukan ketika berkunjung ke suatu kampung yaitu suasana kampungnya yg damai dan orang-orangnya yg ramah, hadooh jadi inget kampung sendiri hehe. Tempatnya bener-bener menyimpan cerita nihh mba, keren :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener. Suasana tenang dan damainya itu loooh.. ngangenin banget!

      Delete
  4. Saya sudah 3 tahunan di Lampung ...tapi sampai sekarang belum tahu tempat itu dimana...hehehehe...infonya bikin kaki gatel lagi jalan jauh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehe... di Way Kanan banyak destinasi menarik mas... :)

      Delete
  5. Suasana yang sudah jarang di temukan di Kota-Kota Besar ya

    ReplyDelete
  6. Lihat foto rumahnya jadi inget rumah-rumah di pedalaman kalimantan, mirip, sama-sama rumah papan.
    Tapi, itulah yang bikin berbeda dan layak untuk tetap ada.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya... rumah-rumah dengan material kayu terbaik, jadinya awet sampe sekarang :)

      Delete
  7. Wah saya juga beberapa kali ke Lampung nggak tahu ada desa wisata ini. Heuheu. Jadi penasaran euy

    ReplyDelete
    Replies
    1. Next kalo ke Lampung lagi kudu disamperin niih :)

      Delete
  8. Kesampaian juga ngopi dan nginap di Gedung Batin :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mas Yop... Hepi bangeeeeeet! Makasih yaaaaaaaaaaa udah sering-sring ngeracunin :D

      Delete
  9. K@wan (komunitas wisata Way Kanan) siyap mengantar teman2 ke desa wisata Gedung batin.
    Cp. Desva Ratna. Sr. 082182084068

    ReplyDelete
  10. Tidur nya jumpalitan semua hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan cuma jumpalitan aja.. plus ngorok juga :D

      Delete
  11. Huaa. mupeng pengen bikin tulisan kaya gini juga
    aku pas ke Sumatera selatan juga sering banget nglewati rumah2 kaya gini. di Kabupaten Banyuasin kalau g salah. Lupa deh dimana.
    Itu lada dan pertaniannya menarik banget kalau diulas.. suka banget sama tulisan ini. Bakal sering main ke sini deh.. hihi

    Salam kenal nggih Mba :) Saya jg baru belajar ngeblog. mohon bimbingannya untuk memperkaya bahasa tulisan :D monggo jika berkenan mampir ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiiii.. salam kenal juga.. Makasih udah singgah di sini :)
      Hehehe saya juga masih belajar nulis kok :)

      Delete
  12. itu menginap sampai-sampai tidur di kolong meja. hahahahhaha.. ada-ada aja. tapi keren loh, rumah kuno tapi antik. jadi inget dlu sempet wisata ke kabupaten jembrana, bali. ada juga banyak peninggalan rumah-rumah kuno.

    ReplyDelete
  13. Perkampungan rumah warisan lampau ini, memang bikin terpukau.
    Apalagi saat suasana di pagi hari yang bebas polusi plus nyanyian sayup sungai dan burung di pagi hari itu, asli melelehkanku.

    ReplyDelete